Rabu, 22 Februari 2012

Hilang Satu Cangkir Kopi *repost*


Bicaralah meski kamu diwajibkan diam bahkan sampai kecupan terakhirmu pada cangkir putih itu. Aku akan tetap mangamati. Mengamati sampai habis nyaliku untuk sekedar tahu mengapa kamu terus diam dan membiarkan orang lalu lalang di depanku, menyapamu, dan aku masih kamu bekukan. Tidak! Tidak! Aku tidak akan dulu menanyakan kamu, sejak kapan aku melihatmu semakin memikat meski kita sedikitpun tak pernah bertabrakan pandang, lagi. Takdirmu mungkin bukan aku, tapi ini takdirku. Bicaralah! Kalau masih juga enggan untuk bicara, tersenyumlah sedikit ke arahku, atau tak perlu sejauh itu, meliriklah dan sadari aku duduk di depanmu, sekarang, Rani.

**

“Mas, kopi Mandhailingnya satu.”

Hanya satu, Ran? Apa kamu mau kita dalam satu cangkir kali ini? Bukankah kamu membenci kecupan seseorang lain dalam cangkirmu? Adakah yang kamu lupakan tentang favorit kita ini?

“Cuma satu, mbak?”

Bahkan si pramusaji langganan kita saja heran. Apa apa denganmu, Rani? Apa aku tak begitu nyata sekarang?

“Iya, lah, mas.”

Sematang itu, Ran?



“Ini, mbak.”

“Terimakasih.”

Senyum itu, Rani, yang sedari tadi aku tunggu tersungging simpul di ujung bibir merah meronamu. Setidaknya itu sedikit mencairkan kaku yang kamu buat sejak aku datang menemanimu menikmati secangkir kopi kesukaanmu.
Tapi boleh aku mencicipi mandhailingmu, Rani? Kali ini aku yakin kamu hanya lupa memesankannya untukku.


**

Kamu bukan tentang seseorang yang ada di hidupku. Tapi bergeraklah menghalau-halau seperti angin mengelus dedaunan. Aku akan membiarkan kamu menyeka rambutku halus, meski tanganmu tak pernah di kepalaku. Dan tetaplah berlaku seperti kamu tak harus berpura-pura menjadi orang lain untuk bisa aku cintai.

“Apa ini lebih menyenangkan?”

Jelas, tidak, Rani. Apanya yang menyenangkan? Ini terlalu dingin untuk kita. Secangkir itu, ternyata aku lebih takut kamu akan lebih marah padaku. Aku sudah cukup sedikit menyisakan ruang bahagia dalam hidupmu. Ya .. kamu pasti lebih pilu. Maafkan aku, Rani.

“Kamu apa kabar?”

Aku baik, Ran. Sangat baik. Luar biasa baik. Kamu duduk manis menyudutkan senyum tepat di depanku.

“Semoga seperti katamu dulu, kamu akan baik-baik saja sampai batas waktu yang tak terhingga. Aku yakin kamu tetap menghalau seperti angin halus, membelaiku, kalaupun itu saat kamu tak ingin berjumpa denganku. Tapi aku tahu kalau kamu jelas tahu keadaanku membaik saat aku pejamkan mata dan membayangkan kamu mengelus aku. Ah tidak, kalau itu berlebihan, setidaknya bayanganmu sedang tersenyum kepadaku.”
Manis. Begitulah seterusnya, Rani. Tersenyum. Kamu lebih mengerti apa yang seharusnya kamu lakukan ketika apa yang kamu bayangkan malah memperburuk keadaan.

“Aku tahu kamu bahagia sekarang.”

Tiada yang lebih mengerti dibandingkan Tuhan, Rani. Aku bahkan bertanya bahagia itu seperti apa pada siapapun ketika aku selesai menyapa para malaikat, di sana.

“Apa yang kamu rasakan ketika bersamaku?”

Apakah itu namanya bahagia?

Rani tersenyum.

"Sampaikan salamku juga pada malaikat yang menjagamu, Sadam. Sekarang kamu boleh pergi lagi."



**

*repost*

2 komentar:

Aulawi Ahmad mengatakan...

suka dengan analogi kopinya :)

ila mengatakan...

waah makasih banyak, mas, sudah mampir disini :)

btw, blogmu keren :)