Selasa, 30 Agustus 2011

Tentang Apa?

photo from here

Tentang itu …
Mana mungkin aku bisa berbohong!
Aku bukan terlalu lelah awalnya,
Tapi aku meletakkan diri terlalu dasar …
Lihat tersenyum,
Membangkang pada hati..
Kamu pembohong dan aku cukup tau itu!


Tentang itu …
Mana mungkin aku bisa berbohong!
Aku bukan hewan,
Tapi tepatnya hanya sedikit tak berhatii..

Karena aku malas percaya,
Sadam datang menyapa,
Aku tukar uang dengan api …
Hingga tergumung mengabu..


Tentang itu …
Akan tetap begitu,
Katanya harus berlari,
Tapi malas rasanya diri ditiduri harap lagi!


Boleh pergi  lalu lalu..
Karena tetes sudah mengeras batu,
Hati hingga beku
Kemudian membenci …


Boleh pergi kini sekarang…
Karena aku,
Punya sesuatu yang kamu sebut,
Rindu yang jauh lebih indah,
Bukan untuk di makan palsu ..


Terima kasih..

After That, I Like..

photo from here



Ada lagi,


Aku meringkuk,
bertekuk dahi di lengan sungai, disebelah Sadam.
Mencoba mendongak dagu
ketika riak mendayung selembar daun.
Masih ku meringkuk,
amati sampai habis bayang di muara.





Tak temukan makna bukan?


Baiklah,
Tiba-tiba Sadam hanya mengurai kata,
"Daun itu sedetik lalu terbuang. Mengalir diatas riak. Tenang, sampai di muara meski kadang terkoyak, terbalik. Dan tak ada gaduh, tapi sampai terhina mendiri. Bukankah begitu yang kau cermini? Nikmati hikmah dari sekedip mata. Tuhan Maha Pemaaf lagi Pemurah."


Kemudian kataku,"Iya, lalu aku terpikat masa sesudah daun itu jatuh, Sadam."



**




nb: Teruntuk Tuanku,
bagaimana kabarmu?
Sampai jumpa,setengah dasawarsa nanti..
Aku menunggumu, dibalik tebing tanpa tergesa..

First Love


Cinta pertama.

Padahal Cuma dua kata, tapi panjangnya gak sebatas dua kata atau sejumlah dua belas aksara. Saya mungkin salah satu yang percaya cinta pertama gak pernah mati. Hoho mungkin bahasanya bukan ‘gak’ tapi belum. Apa emang gak akan mati ya?

Ini cerita, mulanya sejak saya kelas delapan. Yap! Jaman SMP, kira-kira tahun dua ribu enam. Saya suka sama … hmmm sebut saja Raynar, kurang lebih satu tahunan. Saya gak pernah cerita sama siapapun tentang ini. Dan ternyata dia juga suka sama saya dengan kurun waktu yang hampir sama. Akhirnya tahun dua ribu tujuh bulan dua hari ke dua, kita resmi jadian. Ini pertama kalinya saya suka sama orang, memendamnya sendiri, dan ternyata dia balik suka, bahkan berani untuk ‘menjaga’ saya. yaaaa … walau emang kilasan anak SMP, yang katanya Cuma cinta monyet.

Senin, 29 Agustus 2011

Pergilah! Atau Kamu ...

photo from here

Jangan hilang sampai habis saya makan. Kamu memang hanya menjual. Dan saya tetap yang menanggung. Jangan bicara sampai mual, saya hanya diam. Mau menjual lagi rasanya hampir mati mendenga.


Biar mati hingga mendenga saya berucap manis sampai tawar. Tanggap sendiri bagi kamu yang sempat menawarkan. Lelah kan? Tentu saja!

Karenanya bicaralah! Bicara! Jangan diam mengutuki kata hingga bisu! Bahkan untuk apa mengeduskan amarah dalam hati lalu menggemuk tubuh dengan dendam?? Untuk apa mengutuki diri hingga membusuk dosa?


Jangan lakukan ini pada saya yang bahkan belum sempat membuat catatan dengan tema yang berbeda.

Tinggalkan saya, Tuan..

Kalau Enggan Tinggalkan!


photo from here

Adakah jalan khusus yang saya buat untuk kamu, yang sekedar ingin merasakan betapa nikmatnya bernafas, berkedip, dan menenggakkan kepala menyapa Surya yang keemasan di tujuh dua lima tanpa sendiri??

Adakah kursi khusus yang saya buat untuk kamu, yang sekedar ingin menyandarkan tubuh, menghela nafas kemudian menariknya kembali dengan tenang, dan sedikit memijat kaki yang tak kuasa pegalnya di enam belas nol delapan tanpa sendiri, tepat di sudut ruang menjemukan??

Adakah waktu yang saya punya untuk itu?

Saya kira, biarlah peluh menyadarkan dirimu pada satu pandang yang luas. Biarlah penat merela diri pada sandaran kayu yang bahkan rapuh. Saya tahu dengan jelas kamu hanya mencoba untuk tidak sendiri. Saya bahkan lebih memahami kamu kalau kamu juga mencoba menikmati meski beberapa hal mencekik lehermu dari dalam sana. Tepat dari dalam tubuh milikmu sendiri..

Minggu, 28 Agustus 2011

Sampaikan Saja Salamku Untuk Rani



Entah apa yang aku rasakan ketika enam nol delapan. Mencermati mega hitam yang memudar kelabu kemudian memerah dan menunggu surya hingga hangat. Menapaki langkah diatas bumi hijau yang masih menyeka embun yang berurai menjadi air kemudian. Mendendangkan siul berlomba merdu dengan burung gereja yang beramai-ramai. Ini kata orang yang namanya memulai nikmati hidup. Tapi kataku, ini hanya bagian untuk menghidupkan hidup yang mati sementara. Bernafas. Bergerak. Berbicara. Bersiul. Tersenyum. Tertawa. Terbahak-bahak. Menangis. Mengerang rindu. Atau menderu hasrat ingin bertemu. Rani.

Rembulan, Ranah Luka, dan Sepapan Asa




Angin malam halus mengelus segaris muka sendu di kotak kecil samping daun pintu. Setangkai lengan menopang dagu mengamati lekat sabit tipis yang menggantung manis di luasan hitam pekat, berkelip gemintang. Kemudian menyunggingkan senyum pada wajah muramnya dan bersenandung lepas, tentang rembulan, ranah luka, dan asa.

“Kalau enggan, pulanglah..
Aku masih mengina ari
Terpungkur di balik purnama..
Katamu purnama segera menyirna gemintang?
Betulkah?
Bukankah masih menyisakan satu?
Kau yang ajarkan aku untuk menyebutnya kejora..
Bukankah juga usai purnama,
Ia hanya akan beristirahat demi menghidupkan lautan gemintang?
Kau, sampaikan saja
pada ramai-ramai celoteh angin gemerisik
yang menyedutkan sepi dan menggoda biduan canda.
Kalau masih ada sebatang tubuh berkobar asa,
di satu langit dan waktu yang berbeda.
Pulanglah, usah pedulikan duka yang terpikat manis,
Mulai sekarang..”

Seka basah pipi, ada gurauan di setiap jementik jari yang mengajarkan ranah luka. Dagu tak lagi tertopang durja. Tegap. Tersenyum..

Esok hari segera berganti
Demi sepapan asa..

Hilang Satu Cangkir Kopi





Bicaralah meski kamu diwajibkan diam bahkan sampai kecupan terakhirmu pada cangkir putih itu. Aku akan tetap mangamati. Mengamati sampai habis nyaliku untuk sekedar tahu mengapa kamu terus diam dan membiarkan orang lalu lalang di depanku, menyapamu, dan aku masih kamu bekukan. Tidak! Tidak! Aku tidak akan dulu menanyakan kamu, sejak kapan aku melihatmu semakin memikat meski kita sedikitpun tak pernah bertabrakan pandang, lagi. Takdirmu mungkin bukan aku, tapi ini takdirku. Bicaralah! Kalau masih juga enggan untuk bicara, tersenyumlah sedikit ke arahku, atau tak perlu sejauh itu, meliriklah dan sadari aku duduk di depanmu, sekarang, Rani.

Rabu, 10 Agustus 2011

Sadam



Masih ada sarana yang memungkinkan saya untuk menceritakan apa yang saya simpan sendiri tentang kamu, Sadam. Tentang kamu, pria bertubuh tinggi, kurus, berkulit gelap dan berkacamata coklat. Tentang kamu yang resmi mulai bersama saya di tanggal kesebelas bulan sepuluh tiga tahun yang lalu. Tentang kamu yang menorehkan banyak bahagia untuk saya. Tentang kamu yang banyak menorehkan luka untuk saya. Tentang kamu yang lebih dulu mengenal life must go on setelas saya dengan bodohnya melepas kamu. Tentang kamu yang mungkin masih mencintai saya dengan segala keengganan kita untuk bersama lagi.

Sekarang, setelah kamu berhasil melepas saya dan pergi jauh lebih rela, kosong itu selalu kamu yang saya harap datang mengisi.

Sekarang juga, setelah saya mengutuki diri sendiri tentang kamu, masihkah boleh saya bertanya bagaimana kabarmu? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa yang kamu lakukan jika mungkin saja kamu merindukan saya? apa yang kamu lakukan jika kamu merasa kosong?

Kenyataannya memang harus seperti ini, saya atau kamu sama-sama menyimpan semuanya sendiri walau harus ‘terkesan’ munafik.

Menggelikan sebenarnya. Tapi, entahlah, sekali lagi bagaimana bisa saya mengerti tentang apa yang saya rasa? Atau ini Cuma perasaan sesaat yang datang karena minimnya yang harus saya lakukan di masa liburan sebelum masuk kuliah ini? hhmmmm