Kamis, 12 Juli 2012

Ini Sekedar Perbincangan Bodoh


photo from here


Aku hanya butuh menina bobokan tubuhku sendiri saat gelap yang memang rasanya semakin pekat. Ketika aku bahkan tak bisa bercengkrama dengan kamu.
Aku kadang hanya butuh bercermin untuk memanjakan muka yang masam sedari kemarin. Bersama kamu yang jenuh mengikuti apa yang aku lakukan terhadap kata dan polahku saat kamu berhadapanku.


Aku bahkan  terkadang harus pergi melangkah bersama kakiku terlebih dulu, untuk tahu kalau masih banyak yang bisa dijadikan seseorang selain tubuhku sendiri. walau seringnya benderang seolah padam. Ya, tentu saja aku bercari selain kamu! Dan ini karena kamu menampar keluku, diamku, tawaku, semuanya.

Aku memang tercipta sedemikin begini. Merayapi kata yang tak penting dibalik kisah tanpa muara didalam anganku sendiri, lalu kulontarkan padamu. Aku menyendiri, sayangnya memang ada kamu. Sebenarnya tak ada yang salah, sebenarnya tak ada masalah. Kadang, ini berpusat pada bagian dalam diriku sendiri. Mengiba. Menuduh pikir. Menyangka sangka hati sampai akhir sakit ku berhenti. Tanpa rasa. Tanpa arah. Tentu tanpa alasan.

Bersama kamu. Berhadapanku. Dan sayangnya lagi, selalu berulang-ulang.

Bodoh. Aku atau kamu yang bodoh?

Ketika tulisan ini dibuat, aku hanya selalu berandai-andai. Aku selalu bermimpi. Sampai benar, aku sendiri yang meninabobokan tubuhku. Bersenandung sendiri sampai lelap merangkulku dalam indah mimpi yang menggoda. Kali ini, kamu tak berhadapanku.


****


“Kamu hanya menarik dirimu.”

“Terlalu jauh kah?”

“Menurutmu?”

“Aku bahkan tak mengerti.”

“Bagaimana memahami diri lain, sedang kamu membual pada dirimu sendiri.”

“Membual katamu?”

“Tentu saja! Kamu hanya terlalu buta dan tak cukup dewasa.”

“Cukup!”

“Kamu bahkan tidak bisa melebihi siapapun sekalipun ia masih di bangku taman kanak-kanak.”

“CUKUP ku bilang!”

“Apa? Apa saat aku diam kamu akan beranjak dari angan pahitmu?”

“Angan pahit?”

“Bagaimana mungkin aku tak berkata kalau itu bukan angan pahit?”

“Aku tak mau lagi mendengarmu!!”

“Kamu juga terlalu tuli, bahkan untuk mendengar dirimu sendiri!”

“Ku kira kau orang dewasa!”

“Aku memang kekanakkan. Lantas kenapa?”


****


Apa aku terlalu munafik terhadap diriku sendiri? Apa aku terlalu baik pada sisi burukku sendiri?
Aku sudah cukup lelah mengirimi permintaan tangis pada sistem otakku. Aku sudah cukup lelah mengiba pada diriku sendiri kalau aku hanya sedang butuh teman. Tak lebih. Bukan bayangan tubuhku sendiri. bukan kamu. Bukan kamu yang setia dengan jelas, saat semuanya merajukku. Bukan kamu yang setiap kali aku mengaluh kamu yang berhadapan denganku.

Kamu. Ya, kamu! Kamu yang berhadapan persis didepan tubuhku. Cermin ini, alat penghubung kamu dan aku, mungkin sudah muak mendengar apa yang aku dan kamu perdebatkan sesaat sepi meradang. Sesaat hati dipaksa tertawa. Sesaat hati mengiba canda. Sesaat semuanya menghilang.

Tapi, aku tak pernah keberatan. Seharusnya kita hanya perlu lebih bersabar.

Tidak ada komentar: