Selasa, 03 Agustus 2021

Saya Harus Terapi Psikologi (?) - part 1

Photo from Here

 

Assalamualaykum,

Bismillahirrahmanirrahiim..

Karena saya merasa blog ini sudah sangat tidak aktif dan bahkan sepertinya tidak akan ada yang buka kecuali untuk beberapa orang yang keponya sudah akut.

Ada banyak cerita terlewatkan tidak lagi saya abadikan disini, cerita ketika hamil, pandemi, melahirkan, menyusui, mpasi, dan segala halnya tentang bagaimana saya terlahir kembali sebagai orang baru, sebagai karakter yang baru. Seorang ibu.

Beberapa bulan yang lalu, saya memutuskan untuk konsultasi ke psikolog tentang apa yang saya rasakan, sesuatu yang sepertinya tidak bisa saya kendalikan. Melihat kondisi seperti ini, jelas saja konsultasi dilakukan online.

Semua berawal dari rasa yang entah bagaimana datangnya, di ujung kehamilan tiba-tiba ada rasa tidak siap dan ketakutan untuk menjadi ibu. Dan semua rasa menjadi semakin tak beraturan ketika persalinan itu selesai. Perut yang besar tiba-tiba kempes, semua proses persalinan selesai. Tapi perasaan saya tidak baik, saya bahkan merasa seolah memaksa diri untuk menangis karena terharu, tapi tidak bisa. Saya tidak langsung melihat anak saya, saya entah mengapa merasa kesepian, saya merasa ada yang hilang.

“Fatih lengkap, a?”

“Alhamdulillah.”

“Berapa kilo?”

“2,1 katanya.”

Jleb! Kok bisa kecil sekali?! 12 jam sebelum dilahirkan bahkan masih terpantau 3,1 kg berdasarkan bayangan janin.

Setelah itu, rentetan catatan yang tidak sesuai ekspektasi terjadi satu-persatu. Saya kesulitan pelekatan, tidak sampai menjadi lecet memang. Tapi anak saya bingung puting. Bingung puting karena yang pertama kali nempel di mulutnya bukan puting ibunya, yang dihisap pertama kalinya bukan air susu ibunya, melainkan SUFOR!!! Katanya karena BBLR anaknya harus makan dan tersuplementasi dengan baik. Saya percaya. Tapi saat itu saya tidak menyiapkan BOTOL susu, jadi saya pakai botol yang satu paket dengan pompa asinya. Tiga hari anak saya di perina, karena ada indikasi infeksi dari Ketuban Pecah Duluan yang saya alami sebelum kelahirannya. Tidak ada satupun perawat yang mengajari saya pelekatan, ibu saya juga terlihat cemas tanpa alasan dan sama-sama gugup karena hal baru ini. Dan bahkan di hari anak saya lahir TIDAK ADA DOKTER ANAKNYA!!! Saya pulang kerumah tanpa anak saya, dengan kondisi benang jahitan masih melekat saya bolak balik RS. Tetap berusaha menyusui anak saya, walau susah sekali. Tetap mengirim asi perah dengan harapan anak bisa minum dan kenal dengan saya.

Sampai sekarang, saya berjanji, kalau tidak ada RS lain di dunia ini selain RS itu, barulah saya balik lagi menginjakkan kaki disana. Apalagi ini pengalaman melahirkan saya yang pertama, dari kehamilan yang sangat saya tunggu.

Walau disamping itu, anak saya tumbuh sehat dan baik, lengkap sempurna dan selamat. Bahkan sekarang sudah 14 bulan. Tapi tidak bisa saya lupakan bagaimana perasaan saya saat itu. Mohon maaf.

Nanti saya cerita, kisah selanjutnya yaa alasan saya akhirnya memilik konsultasi ke psikolog.

Wassalamualaykum..

Tidak ada komentar: