Minggu, 22 Agustus 2021

Saya Harus Terapi Psikologi (?) - part 4

photo from here

Halo, Assalamualaykum,

Bismillahirrahmanirrahiim..

Inner child yang terluka. Mungkin harusnya seperti ini judulnya.

Saya sama sekali tidak menyalahkan orang tua saya atas kondisi saya sekarang. Mereka juga mungkin besar dengan kondisi yang jauh berbeda dengan dimana dan kapan saya lahir. Saya tidak menyalahkan mereka yang mungkin ilmu parenting tidak semodern sekarang dan jauh lebih mudah di akses dibandingkan kala mereka membesarkan saya. Saya hanya tidak ingin anak saya merasakan apa yang saya rasakan.

Berulang-ulang saya berusaha berdamai dengan diri saya, tapi yang saya rasakan malah sebaliknya. Saya semakin sedih. Hati saya semakin sakit. Saya semakin ingat bagaimana rasanya dicubit sampai memar, saya masih ingat rasanya dimarahi hanya karena jam 5 sore belum pulang, saya di siram air, dikunci dalam ruangan sendirian, mainan saya dirusak sampai patah. Bahkan saya ingat sekali, karena kebiasaan saya menulis diari, saya menulis bahwa saya tidak mau menjadi anak dari kedua orang tua saya. Saya ingat semua situasinya, saya ingat bagaimana rasanya, saya ingat semuanya. Bahkan belakangan ini, tiba-tiba saya mempertanyakan kenapa saya bisa berjalan sendiri ke sekolah, padahal saat itu saya masih TK. Hujan pakai payung atau jas hujan sendirian. Sekali lagi saya tidak menyalahkan kedua orang tua saya. Saya sangat bersyukur bagaimana saya bisa sampai saat ini juga bukan lain karena orang tua saya. Saya hanya menyayangkan, kenapa saya menerima hal tersebut sebagai hal negatif. Padahal mungkin maksudnya bukan seperti itu, saya yakin saya dimarahi pun pasti ada salah saya, saya yakin saya disakiti pun pasti ada salah saya. sampai saat ini, memori indah saat saat saya kecil masih belum bisa saya temukan kalau bukan saya lihat foto-foto masa kecil yang tidak banyak tersisa.

Ketika dicari-cari kenangan manis mana yang berbekas dalam otak saya, saya hanya menemukan sosok kakek dan nenek saya. Bagaimana ekspresi mereka ketika menjemput saya, menunggu saya datang dirumahnya, memasakkan makanan yang saya suka, mengajak saya ke pasar. Memori saya kejeblos selokan, kemudian diajak ke WC untuk cuci kaki saja bahkan saya ingat. Bagaimana sukanya saya memainkan perut nenek saya yang gemuk. Bagaimana ekspresi kakek saya ketika saya pindahkan channel tinju favoritnya. Saya ingat semuanya. Walau sebenarnya semua itu pun saya alami dengan kedua orang tua saya.

Disaat-saat tertentu, saking marahnya saya pada kondisi yang tidak ideal, saya hanya menerima saran sabar-sabar-sabar. Banyak orang yang meminta saya sabar, tanpa sadar lebih jauh apa yang saya rasakan. Banyak yang meminta saya sabar tapi tidak membantu dengan solusi real yang saya butuhkan untuk kondisi ini. Tidak banyak yang saya lihat cukup membantu saya yang seperti sedang berperang dengan diri saya. tidak banyak rangkulan yang saya terima, saya malah semakin banyak menerima ‘penegasan’ yang membuat saya semakin terpojok dan tidak becus menjalani hidup saya saat ini.

Semakin hari saya semakin marah, emosi semakin tidak bisa saya kontrol hanya karena masalah sepele. Saya mudah sekali marah dan menangis. Ada saat-saat tertentu dimana amarah saya rasanya sudah sampai kepala, saya menyakiti diri saya. Saya memukul diri saya, saya mencubit kulit tangan saya, saya melukai diri saya sampai saya tidak sadar kalau itu meninggalkan luka-luka yang kena air sedikit saja perihnya minta ampun. Saya sampai se sakit itu. Saya tidak sadar banyak melakukan self harm, sempat terpikir untuk berhenti berkeluarga dan sendirian  saja menjalani ini semua.

Walau sekarang saya tidak bisa dalam sehari saja tidak ngobrol dengan keluarga saya, walau melalui daring, tetap saja, kami keluarga yang tidak sempurna. Kami juga memiliki family issue yang paling buruk. Saya hanya takut, apa yang saya alami sekarang, dialami juga oleh adik-adik saya. bahkan sempat, satu bulan atau dua bulan sebelum nikah saya tidka menghubungi calon suami saya hanya karen asaya takut menjadi ibu yang sakit. Saya takut menjadi sosok yang tidak saya inginkan. Saya takut tidak bisa menjadi istri yang lembut dan ibu yang penyayang. Saya takut saya hanya mencukupi anak saya dengan materi, sedangkan secara moril tidak terpenuhi dengan baik.

Dan benar saja. Saya tidak pernah merasa penuh. Saya bingung caranya bahagia bagaimana. Yang saya tahu hanya ketika saya tidak melakukan apa-apa, tidak berpikir apa-apa, itu adalah waktu terbaik saya.

Karena hal ini, akhirnya saya memutuskan untuk mulai konseling. Saya mau jadi ibu yang penuh, ibu yang bahagia, ibu-istri-anak yang tahu caranya bahagia, bahagia yang sama-sama.

Wassalamualaykum..

Jumat, 20 Agustus 2021

Saya Harus Terapi Psikologi (?) - part 3

 

photo from here

Halo, Assalamualaykum,

Bismillahirrahmanirrahiim..

Dicerita kali ini, sepertinya saya akan lebih menggebu-gebu. Menceritakan apa yang saya rasakan sebenarnya tidak mudah. Apalagi dihalaman ini yang memungkinkan ada yang membaca. Tapi entah mengapa, rasanya saya harus menuliskan ini.

Dimulai dari MPASI, dan lika-liku MPASI yang bahkan sekarang ini saya harus bolak-balik ke dokter tumbuh kembang. Konsultasi mengapa anak saya tidak bertambah beratnya bahkan sampai 5 bulan belakangan ini.

Saya seperti menyerah untuk menyuapi anak saya sampai saya benar-benar bisa mengendalikan amarah saya. Yap! Semenjak MPASI dan anak semakin aktif dan paham apa yang dia inginkan, saya menyerah untuk menyuapinya. Menghindari waktu makannya. Saya takut sekali saya sampai menyakiti anak saya. Selama perjalanan MPASI sampai sekarang pun saya merasa berjuang sendiri. Suami yang mungkin sebenarnya membantu, tapi tetap saya merasa berjuang sendiri dibalik semua ini. Menu dan lain-lainnya saya siapkan sendiri, dan efek dari ini semuanya pun saya pikirkan sendiri.

Ketika waktu makan, dan kondisi tidak ideal. Saya bisa saja teriak karena anak menutup rapat mulutnya, saya memaksanya membuka mulut, saya marah – yang benar-benar marah, saya banting makanannya, saya tingkalkan anak saya, saya abaikan entah dia menangis atau tidak. Saat itu sangat kalut dan saya benar-benar tidak bisa mengendalikan emosi saya. Saya marah, saya kesal, dan satu sisi saya takut anak saya akan semakin tidak tumbuh. Bahkan, di area me time saya (intagram hehe), banyak sekali orang yang saya tidak ijinkan muncul. Apa yang mereka perlihatkan membuat saya semakin marah dan sedih dalam waktu bersamaan. Anak tumbuh besar dan sehat, makan dengan tenang, makan pintar sampai habis, mengunyah, kenaikan tektur yang terlihat mudah, saya tidak mau melihat itu. Saya block semua akunnya. Saya bahkan sempat menyumpahi, sewaktu-waktu ia akan mengalami kesulitan yang bukan main oleh anaknya suatu saat nanti.

Dibalik kemarahan dan kekesalan itu, ada lagi yang semakin muncul ke permukaan dan membuat emosi saya semakin tidak stabil. KISAH KECIL SAYA. Yak! Sisi kanak-kanak saya. Entah bagaimana awalnya bisa menghantui, tapi hati saya semakin sakit. Seketika saya marah pada anak saya, saya tinggalkan, saya sendirian, dan seketika itu pula semua memori itu tiba-tiba datang.

Saya marah, kenapa saya merasakan ini? Saya menangis. Saya kira akan mereda, ternyata semakin menjadi. Semakin banyak memori buruk yang muncul. Sampai saya bertanya pada diri saya sendiri, bagian mana di otak saya yang menyimpan memori manis tentang masa kecil saya? Saya mencari-cari memori itu entah kenapa tidak ada yang hubungannya dengan ibu saya, sebagian hanya dengan ayah saya, dan sebagian besar dengan kakek nenek saya.

Orang banyak mungkin menyebutnya dengan luka inner child.

Wassalamualaykum..

Kamis, 19 Agustus 2021

Saya Harus Terapi Psikologi (?) - part 2

 

Photo from here

Halo, Assalamualaykum,

Bismillahirrahmanirrahiim..

Setelah di part satu saya cerita bagaimana pengalaman hari melahirkan, selanjutnya saya akan cerita bagaimana saya melewati tahapan selanjutnya, Menyusui.

Saya merasa dari awal saya sudah tidak IMD dan merasa tidak bisa latch on dengan maksimal sehingga prosesnya tidak optimal. Padahal ASI saya mulai tidak terhingga beberapa hari setelah anak saya pulang ke rumah. Saya berjuang keras bagaimana harus latch on  sampai saya merasa kesal dan marah kepada anak saya karena tidak membuka mulutnya lebar-lebar.

Masa-masa yang sangat saya benci. Masa-masa yang bahkan sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat foto-foto anak saya diusia itu. Masa dimana saya merasa tidak di support secara mental oleh keluarga saya, padahal harapannya saya stay setelah lahir di rumah orang tua harapannya bisa di support secara mental. Sehingga saya bisa merasa lebih bahagia dalam proses dan peran yang baru ini. Nyatanya saya sering sekali menangis dan merasa semua orang hanya memperhatikan anak saya. Padahal yang lahir pun bukan hanya anak saya, tapi saya juga, saya terlahir menjadi ibu di hari yang sama dengan kelahiran anak saya.

Orang-orang menyebut apa yang saya rasakan dengan Baby Blues Syndrom. Tapi saya tidak peduli. Saya biarkan seolah-olah rasa ini normal dan dilain waktu pun pasti akan hilang dengan sendirinya.

Hari-hari saya merasa saya harus belajar ini dan itu, tapi nyatanya saya terlarut dalam ilmu yang saya paksakan. Menyusui, konselor ASI, botol ASI, pembiasaan siang dan malam, juga semua hal yang tidak ideal saya coba hindari. Saya hanya mengharapkan kesempurnaan dari proses ini dan lupa bagimana menjadi bahagia saat menjalankannya. Ini poinnya. Saya lupa bagaimana cara menikmati proses dan peran baru ini.

Sesaat setelah saya menikmati masa menyusui saya, tibalah masa MPASI. Dan disinilah semua hal menjadi pemicu emosi saya. Saya merasa gagal luar biasa. Saat anak benar-benar tidak mau makan apapun yang saya suguhkan. Tumbuh gigi, mengemut makan, melepeh, menyembur, GTM, sehat, kemudian sakit lagi, sehat, sakit lagi.

Di titik ini semua seperli melahirkan sesuatu yang baru lagi dalam diri saya dan inilah awal mula saya memutuskan untuk konsultasi psikologi.

Oke, lanjut next yaa..

Wassalamualaykum.


Selasa, 03 Agustus 2021

Saya Harus Terapi Psikologi (?) - part 1

Photo from Here

 

Assalamualaykum,

Bismillahirrahmanirrahiim..

Karena saya merasa blog ini sudah sangat tidak aktif dan bahkan sepertinya tidak akan ada yang buka kecuali untuk beberapa orang yang keponya sudah akut.

Ada banyak cerita terlewatkan tidak lagi saya abadikan disini, cerita ketika hamil, pandemi, melahirkan, menyusui, mpasi, dan segala halnya tentang bagaimana saya terlahir kembali sebagai orang baru, sebagai karakter yang baru. Seorang ibu.

Beberapa bulan yang lalu, saya memutuskan untuk konsultasi ke psikolog tentang apa yang saya rasakan, sesuatu yang sepertinya tidak bisa saya kendalikan. Melihat kondisi seperti ini, jelas saja konsultasi dilakukan online.

Semua berawal dari rasa yang entah bagaimana datangnya, di ujung kehamilan tiba-tiba ada rasa tidak siap dan ketakutan untuk menjadi ibu. Dan semua rasa menjadi semakin tak beraturan ketika persalinan itu selesai. Perut yang besar tiba-tiba kempes, semua proses persalinan selesai. Tapi perasaan saya tidak baik, saya bahkan merasa seolah memaksa diri untuk menangis karena terharu, tapi tidak bisa. Saya tidak langsung melihat anak saya, saya entah mengapa merasa kesepian, saya merasa ada yang hilang.

“Fatih lengkap, a?”

“Alhamdulillah.”

“Berapa kilo?”

“2,1 katanya.”

Jleb! Kok bisa kecil sekali?! 12 jam sebelum dilahirkan bahkan masih terpantau 3,1 kg berdasarkan bayangan janin.

Setelah itu, rentetan catatan yang tidak sesuai ekspektasi terjadi satu-persatu. Saya kesulitan pelekatan, tidak sampai menjadi lecet memang. Tapi anak saya bingung puting. Bingung puting karena yang pertama kali nempel di mulutnya bukan puting ibunya, yang dihisap pertama kalinya bukan air susu ibunya, melainkan SUFOR!!! Katanya karena BBLR anaknya harus makan dan tersuplementasi dengan baik. Saya percaya. Tapi saat itu saya tidak menyiapkan BOTOL susu, jadi saya pakai botol yang satu paket dengan pompa asinya. Tiga hari anak saya di perina, karena ada indikasi infeksi dari Ketuban Pecah Duluan yang saya alami sebelum kelahirannya. Tidak ada satupun perawat yang mengajari saya pelekatan, ibu saya juga terlihat cemas tanpa alasan dan sama-sama gugup karena hal baru ini. Dan bahkan di hari anak saya lahir TIDAK ADA DOKTER ANAKNYA!!! Saya pulang kerumah tanpa anak saya, dengan kondisi benang jahitan masih melekat saya bolak balik RS. Tetap berusaha menyusui anak saya, walau susah sekali. Tetap mengirim asi perah dengan harapan anak bisa minum dan kenal dengan saya.

Sampai sekarang, saya berjanji, kalau tidak ada RS lain di dunia ini selain RS itu, barulah saya balik lagi menginjakkan kaki disana. Apalagi ini pengalaman melahirkan saya yang pertama, dari kehamilan yang sangat saya tunggu.

Walau disamping itu, anak saya tumbuh sehat dan baik, lengkap sempurna dan selamat. Bahkan sekarang sudah 14 bulan. Tapi tidak bisa saya lupakan bagaimana perasaan saya saat itu. Mohon maaf.

Nanti saya cerita, kisah selanjutnya yaa alasan saya akhirnya memilik konsultasi ke psikolog.

Wassalamualaykum..