Jumat, 20 Agustus 2021

Saya Harus Terapi Psikologi (?) - part 3

 

photo from here

Halo, Assalamualaykum,

Bismillahirrahmanirrahiim..

Dicerita kali ini, sepertinya saya akan lebih menggebu-gebu. Menceritakan apa yang saya rasakan sebenarnya tidak mudah. Apalagi dihalaman ini yang memungkinkan ada yang membaca. Tapi entah mengapa, rasanya saya harus menuliskan ini.

Dimulai dari MPASI, dan lika-liku MPASI yang bahkan sekarang ini saya harus bolak-balik ke dokter tumbuh kembang. Konsultasi mengapa anak saya tidak bertambah beratnya bahkan sampai 5 bulan belakangan ini.

Saya seperti menyerah untuk menyuapi anak saya sampai saya benar-benar bisa mengendalikan amarah saya. Yap! Semenjak MPASI dan anak semakin aktif dan paham apa yang dia inginkan, saya menyerah untuk menyuapinya. Menghindari waktu makannya. Saya takut sekali saya sampai menyakiti anak saya. Selama perjalanan MPASI sampai sekarang pun saya merasa berjuang sendiri. Suami yang mungkin sebenarnya membantu, tapi tetap saya merasa berjuang sendiri dibalik semua ini. Menu dan lain-lainnya saya siapkan sendiri, dan efek dari ini semuanya pun saya pikirkan sendiri.

Ketika waktu makan, dan kondisi tidak ideal. Saya bisa saja teriak karena anak menutup rapat mulutnya, saya memaksanya membuka mulut, saya marah – yang benar-benar marah, saya banting makanannya, saya tingkalkan anak saya, saya abaikan entah dia menangis atau tidak. Saat itu sangat kalut dan saya benar-benar tidak bisa mengendalikan emosi saya. Saya marah, saya kesal, dan satu sisi saya takut anak saya akan semakin tidak tumbuh. Bahkan, di area me time saya (intagram hehe), banyak sekali orang yang saya tidak ijinkan muncul. Apa yang mereka perlihatkan membuat saya semakin marah dan sedih dalam waktu bersamaan. Anak tumbuh besar dan sehat, makan dengan tenang, makan pintar sampai habis, mengunyah, kenaikan tektur yang terlihat mudah, saya tidak mau melihat itu. Saya block semua akunnya. Saya bahkan sempat menyumpahi, sewaktu-waktu ia akan mengalami kesulitan yang bukan main oleh anaknya suatu saat nanti.

Dibalik kemarahan dan kekesalan itu, ada lagi yang semakin muncul ke permukaan dan membuat emosi saya semakin tidak stabil. KISAH KECIL SAYA. Yak! Sisi kanak-kanak saya. Entah bagaimana awalnya bisa menghantui, tapi hati saya semakin sakit. Seketika saya marah pada anak saya, saya tinggalkan, saya sendirian, dan seketika itu pula semua memori itu tiba-tiba datang.

Saya marah, kenapa saya merasakan ini? Saya menangis. Saya kira akan mereda, ternyata semakin menjadi. Semakin banyak memori buruk yang muncul. Sampai saya bertanya pada diri saya sendiri, bagian mana di otak saya yang menyimpan memori manis tentang masa kecil saya? Saya mencari-cari memori itu entah kenapa tidak ada yang hubungannya dengan ibu saya, sebagian hanya dengan ayah saya, dan sebagian besar dengan kakek nenek saya.

Orang banyak mungkin menyebutnya dengan luka inner child.

Wassalamualaykum..

Tidak ada komentar: