kamu - ayahku |
Aku menuliskan ini secara sadar. Disaat pertama kalinya lagi aku merasakan langit mendung kemudian turun hujan begitu derasnya. Pandeglang, 27 September 2015.
Tulisan ini masih menyisakan getaran yang datang dari cerita beberapa hari belakangan ini. Siapapun tahu, bahkan semesta laman ini pun mengerti bahwa kamu adalah sebagian besar inti cerita dibalik kisah-kisah roman didalamnya. Kisah yang mulanya tidak bisa kusampirkan dengan jelas, kisah yang mulanya hanya ada aku dan kamu sampai pada akhirnya menjadi kita (meski belum sesempurna itu). Kisah yang mulanya menceritakan bagaimana aku menyimpan kekaguman tiada henti pada sosok yang selisih usianya bahkan jauh dibawahku. Kisah yang menyiratkan bagaimana aku menyimpan semua sisi romansa dalam bentuk yang sengaja ku fiksikan, agar tidak ada satupun tepat sangka atas rasa yang mulanya ku tutupi dengan rapat. Dan beragam kisah emosional yang sulit kuceritakan secara langsung padamu. Sampai hari ini. Kamu. Inti ceritaku.
Bulan ini, tepat tiga tahun enam bulan kita dekat. Bersama membicarakan masa depan, bersama membicarakan pembelajaran. Bersama membicarakan rencana dan segala macam kemungkinan. Dalam situasi yang abnormal, kamu begitu banyak memberikan pengaruh, pengertian, dan berjuta perhatian. Apa yang harus aku lakukan untuk memcoba menggantikannya menjadi lebih baik untukmu? Apa yang harus aku lakukan untuk menunjukan rasa terimakasih yang begitu besar atas apa yang sudah lalu-lalu? Aku tak tahu.
Tiba di akhir bulan Agustus, kamu membulatkan rencana dan segala kemungkinan kamu harus kerumahku selepas Idul Adha. Aku memaki diriku sendiri mengapa kamu begitu keras kepala menyatakan harus datang kerumahku sebelum aku wisuda. Alasannya, saat ini aku sedang kalut dengan pemenuhan syarat wisuda periode Oktober. Segala halnya masih belum selesai, dengan kerasnya kamu mengatakan bahwa kamu akan tetap datang meskipun aku tidak ada dirumah. Mana mungkin! Begitu menyebalkan, bukan? Disaat aku begitu menanti kedatangan kamu kerumah, disaat aku menanti kamu berkenalan langsung dan berjabat langsung dengan kedua orang tuaku. Dan tidak mungkin rasanya aku membiarkanmu begitu saja tanpa kehadiranku.
Mulanya memang kesal, aku ingin sekali menyelesaikan segala urusan dan persyaratan pendaftaran wisuda. Tapi semua hilang, benar-benar hilang, seolah aku tidak pernah kesal dengan keras kepalamu yang sudah kuhafal dengan jelas. Seolah aku sedang tidak mempersiapkan segala dokumen persyaratan wisuda, saat hari itu datang. Pandeglang, 25 September 2015.
Aku dengan tega tidak datang menjemputmu di terminal. Aku dengan tega membiarkanmu naik-turun angkutan umum untuk sampai dirumahku dengan kaki dan tekadmu sendiri. Maaf sayang, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku berkali-kali menawarkan meski dengan segala keterbatasan untuk menjemputmu, tapi lagi-lagi aku lupa kalau kamu adalah orang paling keras kepala kalau sudah dengan satu keputusanmu.
Aku takut, aku bingung, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan ketika kamu datang dan berada di tengah suasana lebaran haji keluargaku, bahkan keluarga besarku. Kedatanganmu kerumah seolah disambut hangat bukan hanya oleh ayah, ibu, dan adik-adikku. Tapi keluarga besarku, paman dan tante-tanteku. Kebetulan yang seolah-olah terencana. Aku panik luar biasa ketika kamu bahkan hampir 6 jam perjalanan menuju rumahku yang biasa hanya 3-4 jam sudah plus macet. Pukul 14.15, tepat saat semuanya di teras rumah, salam dari orang asing terdengar begitu menggetarkan. Kamu benar tiba dengan selamat, dengan kakimu sendiri dan setelan tampan yang memang sudah kamu persiapkan sebelumnya. Bersalaman langsung dengan semua anggota keluargaku. Duduk di ruang tamu rumahku. Makan dalam satu ruangan dengan keluarga besarku. Tanpa canggung. Berkenalan, berbincang, bercanda dengan adik-adikku. Bayangan kamu ada ditengah-tengah situasi hari itu, rasanya seperti mimpi. Tidak pernah aku membayangkan sebahagia ini rasanya melihat kamu berada didalam lingkaran keluarga yang sebelumnya hanya kamu lihat dariku dan kamu dengar dari ceritaku, meski tak selama waktumu diperjalanan.
Kamu sukses, sayang. Kamu telah berhasil mencuri hati bukan hanya ayah, ibu dan adikku. Tapi semua anggota keluargaku. Kamu bahkan seperti bukan pertama kalinya datang kerumahku. Kamu seperti sudah mengenal lama siapapun yang kamu ajak bicara. Kamu sukses meruntuhkan segala isu dan prediksi tentangmu selama tiga setengah tahun ini.
Sayang, aku tidak berharap lebih banyak dari awal yang begitu menyenangkan ini. Yang nyatanya, lebih banyak rasa takut dibanding optimisme kalau kamu dan aku bisa melangkah dengan mudah lebih dari ini. Hari masih begitu panjang, waktu akan terulur tanpa terasa. Kamu dan aku akan sama-sama berada disatu masa yang baru, pada fase peralihan dan fase final dalam cerita kehidupan. Semoga saja ya Ia berkenan.
Terimakasih sayang, atas waktumu,
Pandeglang, 27 September 2015.
1 komentar:
Selamat pagi Mba, kami dari NYINDIR.COM ingin mengajak Anda bergabung dengan kami sebagai Kontributor/Penulis. Apakah Mba tertarik? mungkin untuk ngobrol-ngobrol mba bisa menghubungi email saya Nisaalfarizi@gmail.com. Terimakasih
Posting Komentar