oleh :
Nur Illahiyah Munggaran
Universitas Diponegoro
"Guru. Satu kata yang paling saya jauhi sampai dua tahun yang lalu. Dulu, saya tidak mau membayangkan kalau harus menjadi guru. Mengajar di depan kelas, ceramah, praktikum, dengan antek-anteknya yang agak menyulitkan. Belum lagi mengurusi anak orang yang diatur saja susahnya minta ampun, minta ini-itu, gak mau diam, dan lain-lainnya yang membuat saya tidak bisa istirahat cukup dan duduk untuk terus melayani mereka. Belum lagi soal administrasi. Tapi dalam satu minggu saya sudah menjadi guru. Dituntut mengajar dengan metode yang berbeda setiap harinya. Sekreatif mungkin agar meningkatkan semangat belajar anak-anak, mengenalkan berbagai materi pelajaran dengan observasi alam, mengenalkan imajinasi yang ‘liar’ pada anak-anak dengan kelas imajinasi*, menyisipkan ice breaking agar anak-anak kinestetis tidak mudah bosan, melakukan pendekatan bagi yang belum lancar membaca dan menulis, mengajak mereka makan, melayani mereka ketika sedang sakit, membuat mereka dekat dengan kita. Belum lagi malam sebelumnya harus mempersiapkan materi mengajar besok seperti apa. Dan semua hal yang ternyata diluar dugaan saya sendiri. Untungnya, anak-anak memiliki antusiasme yang tinggi terhadap kedatangan saya dan menerima apa yang saya berikan. Dengan waktu yang begitu singkat, bagaimanapun saya harus menyerahkan jiwa raga sepenuhnya untuk anak-anak saya tercinta ini."