oleh :
Nur Illahiyah Munggaran
Universitas Diponegoro
"Guru. Satu kata yang paling saya jauhi sampai dua tahun yang lalu. Dulu, saya tidak mau membayangkan kalau harus menjadi guru. Mengajar di depan kelas, ceramah, praktikum, dengan antek-anteknya yang agak menyulitkan. Belum lagi mengurusi anak orang yang diatur saja susahnya minta ampun, minta ini-itu, gak mau diam, dan lain-lainnya yang membuat saya tidak bisa istirahat cukup dan duduk untuk terus melayani mereka. Belum lagi soal administrasi. Tapi dalam satu minggu saya sudah menjadi guru. Dituntut mengajar dengan metode yang berbeda setiap harinya. Sekreatif mungkin agar meningkatkan semangat belajar anak-anak, mengenalkan berbagai materi pelajaran dengan observasi alam, mengenalkan imajinasi yang ‘liar’ pada anak-anak dengan kelas imajinasi*, menyisipkan ice breaking agar anak-anak kinestetis tidak mudah bosan, melakukan pendekatan bagi yang belum lancar membaca dan menulis, mengajak mereka makan, melayani mereka ketika sedang sakit, membuat mereka dekat dengan kita. Belum lagi malam sebelumnya harus mempersiapkan materi mengajar besok seperti apa. Dan semua hal yang ternyata diluar dugaan saya sendiri. Untungnya, anak-anak memiliki antusiasme yang tinggi terhadap kedatangan saya dan menerima apa yang saya berikan. Dengan waktu yang begitu singkat, bagaimanapun saya harus menyerahkan jiwa raga sepenuhnya untuk anak-anak saya tercinta ini."
Gerakan Undip Mengajar. Gerakan ini terinspirasi oleh Gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh Bapak Anies Baswedan, salah satu orang hebat yang ingin saya temui dalam keadaan apapun. Gerakan UNDIP Mengajar tahun 2013 ini merupakan angkatan pertama yang melakukan penerjunan ke daerah dengan keadaan sekolah dasar yang masih memprihatinkan. Banyak faktor kenapa sampai bisa dikatakan katagori memprihatinkan, pertama kualitas dan kuantitas guru yang kurang sehingga mengakibatkan banyaknya guru rangkap mengajar beberapa kelas, kedua kondisi ekonomi orang tua siswa yang menengah kebawah mengakibatkan banyak dari mereka yang bekerja di luar pulau atau bahkan menjadi TKI, sehingga kondisi siswa masih kurang perhatian dari orang tuanya, terutama dalam hal pendidikan di usia dini.
Gerakan Undip Mengajar. Gerakan ini terinspirasi oleh Gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh Bapak Anies Baswedan, salah satu orang hebat yang ingin saya temui dalam keadaan apapun. Gerakan UNDIP Mengajar tahun 2013 ini merupakan angkatan pertama yang melakukan penerjunan ke daerah dengan keadaan sekolah dasar yang masih memprihatinkan. Banyak faktor kenapa sampai bisa dikatakan katagori memprihatinkan, pertama kualitas dan kuantitas guru yang kurang sehingga mengakibatkan banyaknya guru rangkap mengajar beberapa kelas, kedua kondisi ekonomi orang tua siswa yang menengah kebawah mengakibatkan banyak dari mereka yang bekerja di luar pulau atau bahkan menjadi TKI, sehingga kondisi siswa masih kurang perhatian dari orang tuanya, terutama dalam hal pendidikan di usia dini.
Tim pengajar. Sudah
terpilih 20 orang terseleksi dari 150an pendaftar. Pengumpulan berkas,
wawancara, pelatihan, pelantikan dan penerjunan. Gerakan Undip Mengajar atau
yang akrab disebut GUM ini akan dilakukan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Lebih tepatnya Desa Pasigitan, Kecamatan Boja. Dalam tim saya, ada tiga orang
pria tangguh, Dika (Teknik Lingkungan), Wildan (Teknik Lingkungan), dan Lanjar
(Teknik Geodesi). Begitu juga dengan enam orang rekan terhebat saya, Mita
(Psikologi), Firly (Fapet), Pita (Teknik Industri), Chella (Fisip), Keterina
(Hukum), Icha (FKM) dan saya sendiri dari Teknik Lingkungan. Kami bersepuluh
tinggal di rumah Bapak Kades Pasigitan, Bapak Aris Salamun.
Kecamatan Boja,
Kabupaten Kendal :
1.
Topografi yang meliuk-liuk.
2.
Banyak titik jalan yang rusak parah, berbatu,
berlubang dan tanjakkan-turunan yang terjal.
3.
Kanan kiri jalan merupakan kebun kopi, hutan dan
persawahan.
Selama mengajar,
semangat saya selalu datang dari anak-anak yang dengan antusias sedikit tergesa
datang untuk bersalaman dan menyapa para pengajar yang baru datang. Senyum,
Salam, Sopan. Tiga hal tersebut yang kemudian pelan-pelan diajarkan pada
anak-anak setiap pagi dengan lagu yang terinspirasi dari gerakan Indonesia
Mengajar.
Begitu sampai
hari kelima saya mengajar, entah kenapa rasanya gelisah sekali. Di sekolah,
saya mencoba menahan mood saya yang blue secara
tiba-tiba. Ditambah ketika baru saja turun dari motor di parkiran, Ery, siswa
kelas lima, berlari kearah saya kemudian memeluk saya dan berhasil membuat saya
semakin blue.
“Bu, besok hari terakhir ya?”
“Iya, Ery, Ibu pulang dulu ya ke Semarang.” Kemudian
saya mengusap kepalanya dan mengantarkannya ke kelas sambil berangkulan. Dan
masuk kekelasnya.
“Bu, ada yang gambar kamera.” Katanya
sambil menunjukkan tempelan gambar mengenai hal yang berkaitan dengan cita-citanya.
“Katanya dia pengen kadi fotografer.” Lanjutnya
lagi.
Subhanallah walhamdulillah Allahuakbar. Saya langsung merinding. Ceritanya,
ketika survey hari kedua saya memang mengenalkan anak kelas lima beberapa
cita-cita selain guru, polisi, dan tentara (karena rata-rata cita-cita anak
hanya terpaut tiga itu.red). Dan saya mengenalkan fotografer sebagai orang yang
bekerja atas dasar ketertarikkannya di bidang fotografi. Kemudian saya lihat
satu-satu gambar yang mereka buat dan ada tiga orang yang kemudian bercita-cita
menjadi fotografer, sayangnya saya lupa namanya. Saya kemudian berpikir, apa
yang saya katakan sampai akhirnya bisa membuka pikiran mereka? Apa yang telah
saya lakukan sampai akhirnya berbekas seperti itu? Saya hanya mengenalkan
kamera dan mengajari mereka bagaimana cara menggunakannya. Ya allah, semoga
Engkau senantiasa mengabulkan cita-citanya yaa..
Tetapi siangnya saya
menelepon teman di Semarang dan tiba-tiba saja menangis menceritakan perasaan hal-hal
yang sudah saya lakukan untuk anak-anak sepertinya masih sangat kurang. Saya
merasa belum memberikan apa-apa, masih banyak anak yang membaca masih di eja
padahal sudah kelas atas, masih ada anak yang menghitung saja susah, banyak
anak yang masih suka berteriak ketika berbicara, masih banyak anak yang suka
membuang sampah sembarangan, masih banyak anak yang suka mengejek temannya,
masih banyak anak yang sulit berbagi dengan temannya. Masih terlalu banyak yang
belum saya lakukan untuk terus menuntunnya menjadi pribadi yang jauh lebih
baik, yang berani bermimpi, dan tidak putus asa mengejar terus cita-citanya
dengan bekal pendidikan rohani dan intelektual yang sebenarnya saya saja belum
cukup pantas untuk terus membekali mereka segala sesuatu yang dibutuhkan
nantinya.
Tiba saatnya di hari
terakhir mengajar. Saya sempat bertemu beberapa orang tua murid dan memceritakan
bagaimana keadaan anaknya sebelum dan sesudah kedatangan saya dan teman-teman
GUM. Saya sama sekali tidak menyangka, ternyata (paling tidak) saya dan
teman-teman meningkatkan semangat belajar mereka yang banyak menurun karena
tidak mencukupinya daya pengajar di SD, juga membuat mereka lebih suka untuk
belajar disekolah dan bertemu gurunya. Alhamdulillah. Paling tidak, begitu juga
cukup. Sebelum pulang juga saya sempat makan siang sama-sama dengan anak-anak
di warung dekat sekolah.
“Dio, kenapa tadi nangis?” tanya saya
pada satu anak kelas tiga yang paling pintar dan menguji saya untuk terus
bersabar saat memintanya untuk memperhatikan saya.
“Ikut-ikutan yaaa?” saya lanjut menggodanya.
“Enak aja. Sedih benaran og.”
“Kenapa sedih emang?”
“Makanya jangan pergi. Ngajar disini aja.” Masya
Allah. Saya kehabisan kata-kata kemudian saya mengambil foto anak-anak yang
makan siang bareng saya, satu-satu. Sebagai kenang-kenangan kalau cerita di
balik foto senyum itu ada kisah yang mengharukan.
Banyak pelajaran
yang bisa saya ambil setelah satu minggu mengajar dengan kondisi anak-anak
murid sedemikian rupa. Menjadi guru tidak mudah, sangat tidak mudah, tapi Allah
memberikan kemudahan kepada seorang guru dengan kasih sayang yang tulus agar
mereka menjadi anak yang berguna bagi agamanya, bangsanya, orangtuanya, dan
dirinya sendiri. Keterbatasan bukan sebagai penghalang untuk bercita-cita dan
terus mengejarnya. Keterbatasan dalam keserhanaanlah yang kemudian dijadikan
pacuan untuk tidak pernah menyerah dan berputus asa.
Saya memang belum
bisa melakukan apa-apa. Saya juga bukan siapa-siapa yang memiliki latar
belakang pendidikan yang bagus. Saya hanya ingin melanjutkan apa yang sudah
saya mulai untuk bisa terus membantu orang lain yang tidak sebenruntung saya. Kemudian
saya butuh teman untuk bisa sama-sama melanjutkan sampai tujuan yang diinginkan
tercapai dan berlaku secara kontinu.
“Saya. Anda. Kita. Mereka. Satu.Satu tujuan. Dan sama-sama satu langkah pada awalnya.Ya, satu langkah namun bergerak bersama demi satu tujuan.Yaitu pendidikan yang lebih baik.”
taken by Kris - kelas 5 |
Saya bersama anak-anak dengan latar SDN 1 Pasigitan. Taken by Kris - kelas 5 |
Saya, Pita, dan anak-anak di depan Pohon Impian mereka. |
Taken by Syarif - kelas 5. |
Pengajar SDN 1 Pasigitan. atas ki-ka : Pita, Chella, Saya, Firly, Keterina, Icha, Mita bawah ki-ka : Pak Taji, Pak Adam, Lanjar, Dika, Wildan, Mas Alfin |
1 komentar:
wah, ceritanya benar-benar menggugah. :) Saya sendiri juga sudah sejak lama ingin ikut kegiatan-kegiatan menjadi volunteer seperti ini. ^^
Semoga ke depannya bisa memberikan kontribusi lebih lagi bagi pendidikan bangsa Indonesia kita tercinta ini, amin. :) Semangat~!!
Posting Komentar