photo from here |
Aku hanya butuh menina bobokan
tubuhku sendiri saat gelap yang memang rasanya semakin pekat. Ketika aku bahkan
tak bisa bercengkrama dengan kamu.
Aku kadang hanya butuh bercermin
untuk memanjakan muka yang masam sedari kemarin. Bersama kamu yang jenuh
mengikuti apa yang aku lakukan terhadap kata dan polahku saat kamu berhadapanku.
Aku bahkan terkadang harus pergi melangkah bersama kakiku
terlebih dulu, untuk tahu kalau masih banyak yang bisa dijadikan seseorang
selain tubuhku sendiri. walau seringnya benderang seolah padam. Ya, tentu saja aku
bercari selain kamu! Dan ini karena kamu menampar keluku, diamku, tawaku,
semuanya.
Aku memang tercipta sedemikin
begini. Merayapi kata yang tak penting dibalik kisah tanpa muara didalam
anganku sendiri, lalu kulontarkan padamu. Aku menyendiri, sayangnya memang ada
kamu. Sebenarnya tak ada yang salah, sebenarnya tak ada masalah. Kadang, ini
berpusat pada bagian dalam diriku sendiri. Mengiba. Menuduh pikir. Menyangka
sangka hati sampai akhir sakit ku berhenti. Tanpa rasa. Tanpa arah. Tentu tanpa
alasan.
Bersama kamu. Berhadapanku. Dan sayangnya
lagi, selalu berulang-ulang.
Bodoh. Aku atau kamu yang bodoh?
Ketika tulisan ini dibuat, aku
hanya selalu berandai-andai. Aku selalu bermimpi. Sampai benar, aku sendiri
yang meninabobokan tubuhku. Bersenandung sendiri sampai lelap merangkulku dalam
indah mimpi yang menggoda. Kali ini, kamu tak berhadapanku.
****
“Kamu hanya menarik dirimu.”
“Terlalu jauh kah?”
“Menurutmu?”
“Aku bahkan tak mengerti.”
“Bagaimana memahami diri lain, sedang kamu membual pada dirimu sendiri.”
“Membual katamu?”
“Tentu saja! Kamu hanya terlalu buta dan tak cukup dewasa.”
“Cukup!”
“Kamu bahkan tidak bisa melebihi siapapun sekalipun ia masih di bangku
taman kanak-kanak.”
“CUKUP ku bilang!”
“Apa? Apa saat aku diam kamu akan beranjak dari angan pahitmu?”
“Angan pahit?”
“Bagaimana mungkin aku tak berkata kalau itu bukan angan pahit?”
“Aku tak mau lagi mendengarmu!!”
“Kamu juga terlalu tuli, bahkan untuk mendengar dirimu sendiri!”
“Ku kira kau orang dewasa!”
“Aku memang kekanakkan. Lantas kenapa?”
****
Apa aku terlalu munafik terhadap
diriku sendiri? Apa aku terlalu baik pada sisi burukku sendiri?
Aku sudah cukup lelah mengirimi
permintaan tangis pada sistem otakku. Aku sudah cukup lelah mengiba pada diriku
sendiri kalau aku hanya sedang butuh teman. Tak lebih. Bukan bayangan tubuhku
sendiri. bukan kamu. Bukan kamu yang setia dengan jelas, saat semuanya
merajukku. Bukan kamu yang setiap kali aku mengaluh kamu yang berhadapan
denganku.
Kamu. Ya, kamu! Kamu yang
berhadapan persis didepan tubuhku. Cermin ini, alat penghubung kamu dan aku, mungkin sudah muak mendengar apa
yang aku dan kamu perdebatkan sesaat sepi meradang. Sesaat hati dipaksa
tertawa. Sesaat hati mengiba canda. Sesaat semuanya menghilang.
Tapi, aku tak pernah keberatan. Seharusnya kita hanya perlu lebih bersabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar