photo from here |
Seseorang, tolong bangunkan saya dari mimpi buruk yang terlalu panjang ini. Saya tidak mau menjadi sesuatu yang dikecam masa lalu untuk tetap tinggal bersamanya. Saya juga sangat tidak menginginkan sesuatu yang dibenci masa kini hingga enggan saya taruhi satu harap untuk hari esok.
Beliau. Seseorang yang memiliki semua kemungkinan yang saya pikirkan, bahkan sudah (sedikit) menjadi bukan siapa-siapa lagi karena ketakutan yang sama sekali saya heran kenapa begitu parahnya. Saya bahkan tidak mau menyalahkan masa lalu yang mungkin terlalu kejam, hingga membuat saya seperti sekarang. Mengayun-ayun diri dalam bayangan aneh yang tidak saya tau, tapi jelas sekali saya takuti.
Begini,
Katanya memerah muda itu anugerah, tapi kenapa saya begitu ketakutan? Kenapa saya harus melarang diri saya sendiri sebegitu hebatnya? Kenapa saya menarik hati saya dengan kuat saat beliau mungkin dengan lembut menyapa sendiri saya? Kenapa saya menyembunyikan semuanya sedang saya tau apa yang mulai saya rasakan? Saya takut berharap? Itu wajar bukan??
Seperti yang saya katakan pada diri saya sendiri, jatuh akan tetap terasa sakit sesudahnya. Meski itu sedikit sakit, agak sakit, atau sakit sekali. Apa saya terlalu takut jatuh dan sulit terbangun (lagi)? Sedang saya juga mengerti, tidak setiap kisah dengan alur yang sama.
Memang terkadang, saya cemburu sekali melihat seseorang yang ‘diingini’ dengan sedikit rangkaian manis berbuah kata dalam paragraf dengan polah menggembirakan. Atau sedikit menikmati manis manja tanpa ada polah yang mungkin hanya akan memuakkan. saya hanya ingin menikmati rasa manis haru yang disampaikan kemudian dibaca dengan perlahan. Pasti tersungging senyum manis di ujung rona merah muda bibir. Tapi (lagi), bayangan itu terlalu menjadi gurauan untuk diri saya sendiri. Menggelitik ketakutan saya sejenak dan kemudian malah semakin terbahak takut dalam diri. Mengerikan dan melelahkan. Atau saya terlalu membuatnya terlarut kah? Saya menjadi terlalu menikmati saya sekarang ini kah?
Mengherankan.
Terkadang pula, saya bahkan ingin sekali seseorang memahami saya tanpa harus ada patahan kata menyuara satu sama lain, tanpa ada tatap mengerti dari pandang saya atau pandangnya yang beradu tanya dan jawab. silakan tertawa, karena ini pasti lucu. Saya dengan jelas tau jika seorang manusia, tidak akan pernah menjadi Tuhan, mengerti tanpa bersama secara fisik. Sebenarnya saya tidak minta sesempurna itu, saya hanya kadang ingin dimengerti, dipahami tanpa harus bicara. Akan sulit sepertinya, memang.
Yang katanya rasa itu diam, seharusnya begitu saya sekarang ini. Pun saya seharusnya membungkam rasa dalam kata, bahkan dalam paragraf ini.
Tuhan, saya tetap akan menunggu tanpa tergesa...
Ini hanya bukan waktunya, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar