photo from here |
Tidak apa, aku hanya ingin
mencoba beranikan diri menyisir pantai yang masih gelap dan sepi. Berteman
aroma sisa angin malam dan pemandangan para nelayan yang baru saja pulang
melaut. Terlihat ada banyak sisa asa yang masih bergantungan diujung rasa
kantuk mereka dan pertaruhan untuk hidup anak, istri, dan sanak saudara. Indah.
aku seperti sudah lama sekali tidak melihat pemandangan seperti ini. Bukan
pantainya, melainkan mereka, para nelayan yang diekori oleh bayang-bayang
pengharapan, seperti banyak kalimat; “Kamu tunggu dirumah ya, nak. Ayah akan
kembali membawa ikan yang banyak, kita akan makan besar”. Aku tersenyum
dibuatnya. Begini, layaknya Tuhan mengajarkanku tentang asa, pengharapan, dan
hidup.
Masih tak jauh dari awang-awang
tentang potret kehidupan yang baru saja ku lihat. Meniti langkah, perlahan,
mencoba menikmati sapuan ombak yang kian menjauh. Aku membiarkan pikiran ini
memboyong kaki yang terus saja menagih akan langkah yang tak pasti arahnya.
Terlebih, aku memang suka begini. Tuhan seperti memberikanku waktu yang banyak
untuk kemudian berjalan dengan jutaan rayuan masa, melayang. Terbang hilir
mudik bersama benak yang tak kunjung tenang dalam satu, dua, tiga masa yang
berbeda.
***
Entah mengapa, seperti begitu
banyak sayup-sayup rindu dari masa lalu yang angin bisikan di balik riuhnya ombak
yang meronta menggoda kakiku, dingin. Mengajakku untuk menyapa indahnya
bayangan masa depan dengan rayuan rindu lalu-lalu yang bahkan ku lupa rasanya
seperti apa. Aku sama sekali tidak suka begini, seperti berhenti langkah di
masa lalu dan lupa kalau waktu masih terus gerogoti masa. Tapi Tuhan layaknya
mengajarkan satu hal lagi dengan memberikan waktu yang banyak untuk kemudian ku
mengerti, ada masa yang berlalu – ada masa yang akan segera berlalu.
Tetapi berbeda, semakin kucermati,
semakin tidak lagi sayup-sayup, membisik, menggelitik. Bukan kedengarannya,
tapi kerasanya. Yang terjadi aku malah ingat bagaimana rasanya rindu yang sudah
ku lupakan. Aku juga jadi ingat, bagaimana buncahan rindunya menyesakkan hati di
masa itu. Kemudian melepasnya, menghamburkannya bersama pelukan dan sedikit
kecupan kecil di antara dua alis. Kala itu kamu bagai candu yang menghantu.
Dekap dan kecup itu hanya ilusi sebenarnya, isyaratkan bahwa begitu deras rindu
menghujani sekaligus meniupkannya tanpa pergerakan untuk sesuatu yang belum
pantas. Aku jadi begitu ingat, bagaimana gambar wajahmu dengan air muka yang
begitu tenang dan dingin saat baru saja kita berjumpa setelah ruang dan waktu
yang berbelas bulan selalu berbeda. Kita hanya duduk, beradu nafas tanpa banyak
kata.
“Kamu apa kabar?” tanyamu tanpa
sapaan sayang seperti kebanyakan orang.
"Baik. Kamu?” balikku bertanya,
lagi, tanpa sapaan sayang.
“Baik.” Kita sama-sama tersenyum.
Percakapan enam kata ini bisa
hanya bertahan tetap enam kata dalam waktu dua jam pertemuan pertama. Kamu atau
aku memang tak suka banyak bicara. Tapi ada jutaan rasa yang coba kamu alirkan
dari genggaman tanganmu ketika kita berada di ujung jalan menuju rumahku.
Seperti hujan yang datang tiba-tiba di tengah kemarau panjang. Semua mendung
sudah selesai, surya tak lagi bermuram durja di sudut awan.
Esoknya kamu akan selalu kembali
datang, dengan wajah tenang dan senyum terkembang tipis. Kamu terlalu banyak
menunjukkan kesan dingin untuk hatimu yang hangat. Kemudian kita hanya sesekali
bercengkrama di tepi danau kesayanganmu. Bersama riuhnya suara angin yang
sesekali berbaur bersama suara anak-anak kecil yang bermain di taman sudut
danau. Sesekali pula aku menangkapmu mencuri pandang melihat wajah kekanakan
ini. Seperti menangkap arti bahwa kamu sebenarnya menabung, menyimpan wajahku dalam
benak untuk belasan bulan berikutnya. Aku tersenyum. kamu tersenyum. Sayang, aku
benar-benar mencintaimu, di masa itu.
Ya, itu dulu. Saat aku dan kamu
sama-sama mempercayai bahwa waktu akan tetap berjalan di masa yang sama. Saat
aku dan kamu sama-sama mempercayai bahwa kita adalah kita disaat ini dan
seterusnya, di waktu dan masa yang sama. Melahirkan jutaan cerita dan kisah
yang selalu ku abadikan dalam benak dan hati ini bersama anak dan cucu kita di
waktu dan masa yang sama. Saat aku dan kamu sama-sama mempercayai bahwa hidup
adalah hidup di waktu dan masa yang sama, dalam rentang ruang yang sama.
Aku tersenyum miris. Benak memang
terkadang sempat-sempatnya jahil membawaku pada masa dimana kamu masih disini,
bukan bersama Tuhan. Masa dimana kamu bukan disana, ditempat yang jauh lebih membahagiakan
bersama jutaan malaikat di singgasana keabadian menggenggam janji bahwa kamu
akan setia menungguku. Menunggu masa dan waktu yang akan kembali sama.
Butuh banyak waktu untuk
membawaku kemasa yang berbeda demi hidupku selanjutnya. aku cukup bahagia di
masa peralihan itu, banyak tinta yang tak terbuang sia-sia untuk menyimpan masa
denganmu dalam buku harianku. Meski kamu tak pernah bisa membacanya, tapi ku
pinta pada malaikat penjagaku untuk menyampaikan sesakan dan isakan rindu ini
padamu di surga. Aku merindukanmu, sayangku. Berbeda dengan rindu yang biasa ku
umbar setelah belasan bulan kamu dan aku berada dalam ruang dan waktu
yangberbeda. Ini terlalu jauh, kita berbeda dimensi, sayang. Aku merindukanmu
sayang, di masa itu. Dimasa sebelum Tuhan juga menyampaikan sayangnya padaku
untuk hidupku.
Ada cerita baru untuk masa kini.
Bukan hanya soal rindu, tapi tentang kasih dan sayang. Tentang masa kini dan
masa yang akan sama-sama berlalu sama seperti masamu. Bedanya, hanya saja aku
yang tidak lagi mau lebih menarik diri pada masa dimana kamu adalah tokoh
utamanya. Maafkan aku, sayang, aku mengingkari janjiku untuk setia pada
keabadian yang tak nyata. Ia, seorang yang memiliki wajah bersinar jenaka.
Menghiburku dan mengisi hariku dengan gelak tawa yang hampir selalu membuatku
lupa bahwa aku pernah terpuruk dimasa peralihan antara kamu dan dia.
***
Ini sudah terlalu jauh kaki
melangkah. Sudah delapan titik empat puluh tiga. Pantai tak lagi gelap. Pantai
tak lagi banyak kesibukan nelayan. Tiga masa ini, sedang nakal silih
menggelitikku untuk meleburkan air mata dan ukiran senyum dalam waktu yang
sama.
Kamu adalah teman terindah di
masa lalu, mengenalkanku pada mimpi tentang keabadian, memberi warna dan
pelajaran yang belum sepenuhnya ku pahami. Ia adalah teman terindah yang hadir
saat kelabu yang seharusnya tak sekelam pekat, menggambarkan sesuatu yang sedang
kami lalui dan harus kami lalui. Aku menyimpan ini, mengabadikan ini dalam
benak yang masih belum teratur untuk masa yang tidak akan berhenti di waktu
terdekat dari masa kini. Ia seseorang yang sedang Tuhan kenalkan padaku,
dikirimkanNya agar aku mengerti tentang asa, pengharapan, dan hidup dengan masa
yang terus berganti.
Aku lelah. Terimakasih benak
semesta, sudah mengajakku bermain, melayang, dan menari dalam angan pada tiga
masa di satu waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar