Entah apa yang aku rasakan ketika enam nol delapan. Mencermati mega hitam yang memudar kelabu kemudian memerah dan menunggu surya hingga hangat. Menapaki langkah diatas bumi hijau yang masih menyeka embun yang berurai menjadi air kemudian. Mendendangkan siul berlomba merdu dengan burung gereja yang beramai-ramai. Ini kata orang yang namanya memulai nikmati hidup. Tapi kataku, ini hanya bagian untuk menghidupkan hidup yang mati sementara. Bernafas. Bergerak. Berbicara. Bersiul. Tersenyum. Tertawa. Terbahak-bahak. Menangis. Mengerang rindu. Atau menderu hasrat ingin bertemu. Rani.
Saat ini, enam belas tiga puluh dua, ku letakkan tubuh, terbaring diatas kasur coklat dengan tirai ilalang yang teribas lembut bayu menghalau-halau sinar diselanya, sesekali mengelusku lembut kemudian pergi lagi demi membelai halus sesuatu yang bahkan tak tampak. Beratap lapang biru bermega tipis di beberapa sudut pandangku. Indah. Lembayung kemudian akan segera menghitam, esok masih harus ku temani hari.
Begitu aku suka. Melukis semua jamahan tepat di atas wajahku. Melayangkan suara dalam hati biar Tuhan yang mendengar. Aku hanya melolotkan mata. Rani, ada di atas sana. Tepat di depan wajahku. Tersenyum.
Rangka pikir meluluh-lantahkan asa, bangun begini saat surya bersalaman dengan wulan, mengganti emas enam belas lima puluh lima menjadi lembayung kelabu di tujuh belas lima puluh lima, kemudian terganti hitam di delapan belas lima puluh lima, dua jam setelahnya.
Aku sendiri, tapi usik bayu meradang ngerang, silih berganti dengan gagak hitam melunakkan suara. Aku tahu, Ia bahkan lebih mengerti.
Aku harus pulang,
Dan esok aku tak datang …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar