Minggu, 28 Agustus 2011

Rembulan, Ranah Luka, dan Sepapan Asa




Angin malam halus mengelus segaris muka sendu di kotak kecil samping daun pintu. Setangkai lengan menopang dagu mengamati lekat sabit tipis yang menggantung manis di luasan hitam pekat, berkelip gemintang. Kemudian menyunggingkan senyum pada wajah muramnya dan bersenandung lepas, tentang rembulan, ranah luka, dan asa.

“Kalau enggan, pulanglah..
Aku masih mengina ari
Terpungkur di balik purnama..
Katamu purnama segera menyirna gemintang?
Betulkah?
Bukankah masih menyisakan satu?
Kau yang ajarkan aku untuk menyebutnya kejora..
Bukankah juga usai purnama,
Ia hanya akan beristirahat demi menghidupkan lautan gemintang?
Kau, sampaikan saja
pada ramai-ramai celoteh angin gemerisik
yang menyedutkan sepi dan menggoda biduan canda.
Kalau masih ada sebatang tubuh berkobar asa,
di satu langit dan waktu yang berbeda.
Pulanglah, usah pedulikan duka yang terpikat manis,
Mulai sekarang..”

Seka basah pipi, ada gurauan di setiap jementik jari yang mengajarkan ranah luka. Dagu tak lagi tertopang durja. Tegap. Tersenyum..

Esok hari segera berganti
Demi sepapan asa..

Tidak ada komentar: