Sabtu, 14 Juni 2014

Tiga Masa Satu Waktu

photo from here
Pagi memang masih terlalu dini, empat titik dua puluh lima.
Tidak apa, aku hanya ingin mencoba beranikan diri menyisir pantai yang masih gelap dan sepi. Berteman aroma sisa angin malam dan pemandangan para nelayan yang baru saja pulang melaut. Terlihat ada banyak sisa asa yang masih bergantungan diujung rasa kantuk mereka dan pertaruhan untuk hidup anak, istri, dan sanak saudara. Indah. aku seperti sudah lama sekali tidak melihat pemandangan seperti ini. Bukan pantainya, melainkan mereka, para nelayan yang diekori oleh bayang-bayang pengharapan, seperti banyak kalimat; “Kamu tunggu dirumah ya, nak. Ayah akan kembali membawa ikan yang banyak, kita akan makan besar”. Aku tersenyum dibuatnya. Begini, layaknya Tuhan mengajarkanku tentang asa, pengharapan, dan hidup.

Masih tak jauh dari awang-awang tentang potret kehidupan yang baru saja ku lihat. Meniti langkah, perlahan, mencoba menikmati sapuan ombak yang kian menjauh. Aku membiarkan pikiran ini memboyong kaki yang terus saja menagih akan langkah yang tak pasti arahnya. Terlebih, aku memang suka begini. Tuhan seperti memberikanku waktu yang banyak untuk kemudian berjalan dengan jutaan rayuan masa, melayang. Terbang hilir mudik bersama benak yang tak kunjung tenang dalam satu, dua, tiga masa yang berbeda.

***


Entah mengapa, seperti begitu banyak sayup-sayup rindu dari masa lalu yang angin bisikan di balik riuhnya ombak yang meronta menggoda kakiku, dingin. Mengajakku untuk menyapa indahnya bayangan masa depan dengan rayuan rindu lalu-lalu yang bahkan ku lupa rasanya seperti apa. Aku sama sekali tidak suka begini, seperti berhenti langkah di masa lalu dan lupa kalau waktu masih terus gerogoti masa. Tapi Tuhan layaknya mengajarkan satu hal lagi dengan memberikan waktu yang banyak untuk kemudian ku mengerti, ada masa yang berlalu – ada masa yang akan segera berlalu.


Tetapi berbeda, semakin kucermati, semakin tidak lagi sayup-sayup, membisik, menggelitik. Bukan kedengarannya, tapi kerasanya. Yang terjadi aku malah ingat bagaimana rasanya rindu yang sudah ku lupakan. Aku juga jadi ingat, bagaimana buncahan rindunya menyesakkan hati di masa itu. Kemudian melepasnya, menghamburkannya bersama pelukan dan sedikit kecupan kecil di antara dua alis. Kala itu kamu bagai candu yang menghantu. Dekap dan kecup itu hanya ilusi sebenarnya, isyaratkan bahwa begitu deras rindu menghujani sekaligus meniupkannya tanpa pergerakan untuk sesuatu yang belum pantas. Aku jadi begitu ingat, bagaimana gambar wajahmu dengan air muka yang begitu tenang dan dingin saat baru saja kita berjumpa setelah ruang dan waktu yang berbelas bulan selalu berbeda. Kita hanya duduk, beradu nafas tanpa banyak kata.

“Kamu apa kabar?” tanyamu tanpa sapaan sayang seperti kebanyakan orang.
"Baik. Kamu?” balikku bertanya, lagi, tanpa sapaan sayang.
“Baik.” Kita sama-sama tersenyum.

Percakapan enam kata ini bisa hanya bertahan tetap enam kata dalam waktu dua jam pertemuan pertama. Kamu atau aku memang tak suka banyak bicara. Tapi ada jutaan rasa yang coba kamu alirkan dari genggaman tanganmu ketika kita berada di ujung jalan menuju rumahku. Seperti hujan yang datang tiba-tiba di tengah kemarau panjang. Semua mendung sudah selesai, surya tak lagi bermuram durja di sudut awan.
Esoknya kamu akan selalu kembali datang, dengan wajah tenang dan senyum terkembang tipis. Kamu terlalu banyak menunjukkan kesan dingin untuk hatimu yang hangat. Kemudian kita hanya sesekali bercengkrama di tepi danau kesayanganmu. Bersama riuhnya suara angin yang sesekali berbaur bersama suara anak-anak kecil yang bermain di taman sudut danau. Sesekali pula aku menangkapmu mencuri pandang melihat wajah kekanakan ini. Seperti menangkap arti bahwa kamu sebenarnya menabung, menyimpan wajahku dalam benak untuk belasan bulan berikutnya. Aku tersenyum. kamu tersenyum. Sayang, aku benar-benar mencintaimu, di masa itu.

Ya, itu dulu. Saat aku dan kamu sama-sama mempercayai bahwa waktu akan tetap berjalan di masa yang sama. Saat aku dan kamu sama-sama mempercayai bahwa kita adalah kita disaat ini dan seterusnya, di waktu dan masa yang sama. Melahirkan jutaan cerita dan kisah yang selalu ku abadikan dalam benak dan hati ini bersama anak dan cucu kita di waktu dan masa yang sama. Saat aku dan kamu sama-sama mempercayai bahwa hidup adalah hidup di waktu dan masa yang sama, dalam rentang ruang yang sama.
Aku tersenyum miris. Benak memang terkadang sempat-sempatnya jahil membawaku pada masa dimana kamu masih disini, bukan bersama Tuhan. Masa dimana kamu bukan disana, ditempat yang jauh lebih membahagiakan bersama jutaan malaikat di singgasana keabadian menggenggam janji bahwa kamu akan setia menungguku. Menunggu masa dan waktu yang akan kembali sama.

Butuh banyak waktu untuk membawaku kemasa yang berbeda demi hidupku selanjutnya. aku cukup bahagia di masa peralihan itu, banyak tinta yang tak terbuang sia-sia untuk menyimpan masa denganmu dalam buku harianku. Meski kamu tak pernah bisa membacanya, tapi ku pinta pada malaikat penjagaku untuk menyampaikan sesakan dan isakan rindu ini padamu di surga. Aku merindukanmu, sayangku. Berbeda dengan rindu yang biasa ku umbar setelah belasan bulan kamu dan aku berada dalam ruang dan waktu yangberbeda. Ini terlalu jauh, kita berbeda dimensi, sayang. Aku merindukanmu sayang, di masa itu. Dimasa sebelum Tuhan juga menyampaikan sayangnya padaku untuk hidupku.

Ada cerita baru untuk masa kini. Bukan hanya soal rindu, tapi tentang kasih dan sayang. Tentang masa kini dan masa yang akan sama-sama berlalu sama seperti masamu. Bedanya, hanya saja aku yang tidak lagi mau lebih menarik diri pada masa dimana kamu adalah tokoh utamanya. Maafkan aku, sayang, aku mengingkari janjiku untuk setia pada keabadian yang tak nyata. Ia, seorang yang memiliki wajah bersinar jenaka. Menghiburku dan mengisi hariku dengan gelak tawa yang hampir selalu membuatku lupa bahwa aku pernah terpuruk dimasa peralihan antara kamu dan dia.

***

Ini sudah terlalu jauh kaki melangkah. Sudah delapan titik empat puluh tiga. Pantai tak lagi gelap. Pantai tak lagi banyak kesibukan nelayan. Tiga masa ini, sedang nakal silih menggelitikku untuk meleburkan air mata dan ukiran senyum dalam waktu yang sama.
Kamu adalah teman terindah di masa lalu, mengenalkanku pada mimpi tentang keabadian, memberi warna dan pelajaran yang belum sepenuhnya ku pahami. Ia adalah teman terindah yang hadir saat kelabu yang seharusnya tak sekelam pekat, menggambarkan sesuatu yang sedang kami lalui dan harus kami lalui. Aku menyimpan ini, mengabadikan ini dalam benak yang masih belum teratur untuk masa yang tidak akan berhenti di waktu terdekat dari masa kini. Ia seseorang yang sedang Tuhan kenalkan padaku, dikirimkanNya agar aku mengerti tentang asa, pengharapan, dan hidup dengan masa yang terus berganti.


Aku lelah. Terimakasih benak semesta, sudah mengajakku bermain, melayang, dan menari dalam angan pada tiga masa di satu waktu.

Tidak ada komentar: