Minggu, 08 September 2013

Gerakan Undip Mengajar Angkatan 1

oleh :
Nur Illahiyah Munggaran
Universitas Diponegoro


"Guru. Satu kata yang paling saya jauhi sampai dua tahun yang lalu. Dulu, saya tidak mau membayangkan kalau harus menjadi guru. Mengajar di depan kelas, ceramah, praktikum, dengan antek-anteknya yang agak menyulitkan. Belum lagi mengurusi anak orang yang diatur saja susahnya minta ampun, minta ini-itu, gak mau diam, dan lain-lainnya yang membuat saya tidak bisa istirahat cukup dan duduk untuk terus melayani mereka. Belum lagi soal administrasi. Tapi dalam satu minggu saya sudah menjadi guru. Dituntut mengajar dengan metode yang berbeda setiap harinya. Sekreatif mungkin agar meningkatkan semangat belajar anak-anak, mengenalkan berbagai materi pelajaran dengan observasi alam, mengenalkan imajinasi yang ‘liar’ pada anak-anak dengan kelas imajinasi*, menyisipkan ice breaking agar anak-anak kinestetis tidak mudah bosan, melakukan pendekatan bagi yang belum lancar membaca dan menulis, mengajak mereka makan, melayani mereka ketika sedang sakit, membuat mereka dekat dengan kita. Belum lagi malam sebelumnya harus mempersiapkan materi mengajar besok seperti apa. Dan semua hal yang ternyata diluar dugaan saya sendiri. Untungnya, anak-anak memiliki antusiasme yang tinggi terhadap kedatangan saya dan menerima apa yang saya berikan. Dengan waktu yang begitu singkat, bagaimanapun saya harus menyerahkan jiwa raga sepenuhnya untuk anak-anak saya tercinta ini."


Gerakan Undip Mengajar. Gerakan ini terinspirasi oleh Gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh Bapak Anies Baswedan, salah satu orang hebat yang ingin saya temui dalam keadaan apapun. Gerakan UNDIP Mengajar tahun 2013 ini merupakan angkatan pertama yang melakukan penerjunan ke daerah dengan keadaan sekolah dasar yang masih memprihatinkan. Banyak faktor kenapa sampai bisa dikatakan katagori memprihatinkan, pertama kualitas dan kuantitas guru yang kurang sehingga mengakibatkan banyaknya guru rangkap mengajar beberapa kelas, kedua kondisi ekonomi orang tua siswa yang menengah kebawah mengakibatkan banyak dari mereka yang bekerja di luar pulau atau bahkan menjadi TKI, sehingga kondisi siswa masih kurang perhatian dari orang tuanya, terutama dalam hal pendidikan di usia dini.

Tim pengajar. Sudah terpilih 20 orang terseleksi dari 150an pendaftar. Pengumpulan berkas, wawancara, pelatihan, pelantikan dan penerjunan. Gerakan Undip Mengajar atau yang akrab disebut GUM ini akan dilakukan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Lebih tepatnya Desa Pasigitan, Kecamatan Boja. Dalam tim saya, ada tiga orang pria tangguh, Dika (Teknik Lingkungan), Wildan (Teknik Lingkungan), dan Lanjar (Teknik Geodesi). Begitu juga dengan enam orang rekan terhebat saya, Mita (Psikologi), Firly (Fapet), Pita (Teknik Industri), Chella (Fisip), Keterina (Hukum), Icha (FKM) dan saya sendiri dari Teknik Lingkungan. Kami bersepuluh tinggal di rumah Bapak Kades Pasigitan, Bapak Aris Salamun.

Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal :
1.       Topografi yang meliuk-liuk.
2.       Banyak titik jalan yang rusak parah, berbatu, berlubang dan tanjakkan-turunan yang terjal.
3.       Kanan kiri jalan merupakan kebun kopi, hutan dan persawahan.

Selama mengajar, semangat saya selalu datang dari anak-anak yang dengan antusias sedikit tergesa datang untuk bersalaman dan menyapa para pengajar yang baru datang. Senyum, Salam, Sopan. Tiga hal tersebut yang kemudian pelan-pelan diajarkan pada anak-anak setiap pagi dengan lagu yang terinspirasi dari gerakan Indonesia Mengajar.

Begitu sampai hari kelima saya mengajar, entah kenapa rasanya gelisah sekali. Di sekolah, saya mencoba menahan mood saya yang blue secara tiba-tiba. Ditambah ketika baru saja turun dari motor di parkiran, Ery, siswa kelas lima, berlari kearah saya kemudian memeluk saya dan berhasil membuat saya semakin blue.

“Bu, besok hari terakhir ya?”

“Iya, Ery, Ibu pulang dulu ya ke Semarang.” Kemudian saya mengusap kepalanya dan mengantarkannya ke kelas sambil berangkulan. Dan masuk kekelasnya.

“Bu, ada yang gambar kamera.” Katanya sambil menunjukkan tempelan gambar mengenai hal yang berkaitan dengan cita-citanya.

“Katanya dia pengen kadi fotografer.” Lanjutnya lagi. 

Subhanallah walhamdulillah Allahuakbar. Saya langsung merinding. Ceritanya, ketika survey hari kedua saya memang mengenalkan anak kelas lima beberapa cita-cita selain guru, polisi, dan tentara (karena rata-rata cita-cita anak hanya terpaut tiga itu.red). Dan saya mengenalkan fotografer sebagai orang yang bekerja atas dasar ketertarikkannya di bidang fotografi. Kemudian saya lihat satu-satu gambar yang mereka buat dan ada tiga orang yang kemudian bercita-cita menjadi fotografer, sayangnya saya lupa namanya. Saya kemudian berpikir, apa yang saya katakan sampai akhirnya bisa membuka pikiran mereka? Apa yang telah saya lakukan sampai akhirnya berbekas seperti itu? Saya hanya mengenalkan kamera dan mengajari mereka bagaimana cara menggunakannya. Ya allah, semoga Engkau senantiasa mengabulkan cita-citanya yaa..

Tetapi siangnya saya menelepon teman di Semarang dan tiba-tiba saja menangis menceritakan perasaan hal-hal yang sudah saya lakukan untuk anak-anak sepertinya masih sangat kurang. Saya merasa belum memberikan apa-apa, masih banyak anak yang membaca masih di eja padahal sudah kelas atas, masih ada anak yang menghitung saja susah, banyak anak yang masih suka berteriak ketika berbicara, masih banyak anak yang suka membuang sampah sembarangan, masih banyak anak yang suka mengejek temannya, masih banyak anak yang sulit berbagi dengan temannya. Masih terlalu banyak yang belum saya lakukan untuk terus menuntunnya menjadi pribadi yang jauh lebih baik, yang berani bermimpi, dan tidak putus asa mengejar terus cita-citanya dengan bekal pendidikan rohani dan intelektual yang sebenarnya saya saja belum cukup pantas untuk terus membekali mereka segala sesuatu yang dibutuhkan nantinya.

Tiba saatnya di hari terakhir mengajar. Saya sempat bertemu beberapa orang tua murid dan memceritakan bagaimana keadaan anaknya sebelum dan sesudah kedatangan saya dan teman-teman GUM. Saya sama sekali tidak menyangka, ternyata (paling tidak) saya dan teman-teman meningkatkan semangat belajar mereka yang banyak menurun karena tidak mencukupinya daya pengajar di SD, juga membuat mereka lebih suka untuk belajar disekolah dan bertemu gurunya. Alhamdulillah. Paling tidak, begitu juga cukup. Sebelum pulang juga saya sempat makan siang sama-sama dengan anak-anak di warung dekat sekolah.

“Dio, kenapa tadi nangis?” tanya saya pada satu anak kelas tiga yang paling pintar dan menguji saya untuk terus bersabar saat memintanya untuk memperhatikan saya.

“Ikut-ikutan yaaa?” saya lanjut menggodanya.

“Enak aja. Sedih benaran og.”

“Kenapa sedih emang?”

“Makanya jangan pergi. Ngajar disini aja.” Masya Allah. Saya kehabisan kata-kata kemudian saya mengambil foto anak-anak yang makan siang bareng saya, satu-satu. Sebagai kenang-kenangan kalau cerita di balik foto senyum itu ada kisah yang mengharukan.

Banyak pelajaran yang bisa saya ambil setelah satu minggu mengajar dengan kondisi anak-anak murid sedemikian rupa. Menjadi guru tidak mudah, sangat tidak mudah, tapi Allah memberikan kemudahan kepada seorang guru dengan kasih sayang yang tulus agar mereka menjadi anak yang berguna bagi agamanya, bangsanya, orangtuanya, dan dirinya sendiri. Keterbatasan bukan sebagai penghalang untuk bercita-cita dan terus mengejarnya. Keterbatasan dalam keserhanaanlah yang kemudian dijadikan pacuan untuk tidak pernah menyerah dan berputus asa.

Saya memang belum bisa melakukan apa-apa. Saya juga bukan siapa-siapa yang memiliki latar belakang pendidikan yang bagus. Saya hanya ingin melanjutkan apa yang sudah saya mulai untuk bisa terus membantu orang lain yang tidak sebenruntung saya. Kemudian saya butuh teman untuk bisa sama-sama melanjutkan sampai tujuan yang diinginkan tercapai dan berlaku secara kontinu.

“Saya. Anda. Kita. Mereka. Satu.Satu tujuan. Dan sama-sama satu langkah pada awalnya.Ya, satu langkah namun bergerak bersama demi satu tujuan.Yaitu pendidikan yang lebih baik.”



taken by Kris - kelas 5

Betapa kesulitannya saya dan rekan saya di kelas 3, Pita, meredakan anak-anak yang menangis setelah menuliskan surat cintanya untuk saya dan Pita. Padahal di lapangan tujuan kami adalah senang-senang bersama kelas lainnya.

Saya bersama anak-anak dengan latar SDN 1 Pasigitan.
Taken by Kris - kelas 5

Saya, Pita, dan anak-anak di depan Pohon Impian mereka.

Taken by Syarif - kelas 5.

Pengajar SDN 1 Pasigitan.
atas ki-ka : Pita, Chella, Saya, Firly, Keterina, Icha, Mita
bawah ki-ka : Pak Taji, Pak Adam, Lanjar, Dika, Wildan, Mas Alfin

1 komentar:

kikie mengatakan...

wah, ceritanya benar-benar menggugah. :) Saya sendiri juga sudah sejak lama ingin ikut kegiatan-kegiatan menjadi volunteer seperti ini. ^^
Semoga ke depannya bisa memberikan kontribusi lebih lagi bagi pendidikan bangsa Indonesia kita tercinta ini, amin. :) Semangat~!!