Senin, 16 Juni 2014

Jangan Sebut Saya Begitu

photo from here

Sudah hampir dua minggu ada yang berbeda dengan saya. Memang tidak secara fisik, tapi ini benar-benar membuat saya tidak nyaman. Hilangnya pendengaran yang sempurna.

Saya tidak menjadi tuli  (semoga Allah masih menjaga saya terhadap prasangka buruk ini). Saya juga tidak total kehilangan kemampuan untuk mendengar. Alhamdulillah, Allah masih memberi kesempatan untuk tidak menghilangkan semuanya. Karenanya, jangan sebut saya budek. Saya hanya lemah dalam mendengar. Saya hanya tidak mendengar dengan sempurna. Saya hanya memiliki telinga yang tidak bisa menangkap suara pelan (bagi saya). Jangan kesal untuk mengulangi apa yang dibicarakan. Tolong jangan kesal.
Tapi rasanya kehilangan kemampuan untuk mendengar secara sempurna membuat saya hilang kepercayaan diri untuk lebih banyak berinteraksi dengan orang lain. Kenapa? Karena mereka akan sangat terganggu ketika saya berkali-kali mengulangi kata, “Ya?” atau “Apa?” atau “Gimana?” atau memintanya memperjelas suara yang (menurut saya) pelan. Saya takut oranglain akan menjadi enggan untuk banyak berbicara dengan saya karena ketidaktahuan mereka atas keadaan saya yang baru ini.

Sabtu, 14 Juni 2014

Tiga Masa Satu Waktu

photo from here
Pagi memang masih terlalu dini, empat titik dua puluh lima.
Tidak apa, aku hanya ingin mencoba beranikan diri menyisir pantai yang masih gelap dan sepi. Berteman aroma sisa angin malam dan pemandangan para nelayan yang baru saja pulang melaut. Terlihat ada banyak sisa asa yang masih bergantungan diujung rasa kantuk mereka dan pertaruhan untuk hidup anak, istri, dan sanak saudara. Indah. aku seperti sudah lama sekali tidak melihat pemandangan seperti ini. Bukan pantainya, melainkan mereka, para nelayan yang diekori oleh bayang-bayang pengharapan, seperti banyak kalimat; “Kamu tunggu dirumah ya, nak. Ayah akan kembali membawa ikan yang banyak, kita akan makan besar”. Aku tersenyum dibuatnya. Begini, layaknya Tuhan mengajarkanku tentang asa, pengharapan, dan hidup.

Masih tak jauh dari awang-awang tentang potret kehidupan yang baru saja ku lihat. Meniti langkah, perlahan, mencoba menikmati sapuan ombak yang kian menjauh. Aku membiarkan pikiran ini memboyong kaki yang terus saja menagih akan langkah yang tak pasti arahnya. Terlebih, aku memang suka begini. Tuhan seperti memberikanku waktu yang banyak untuk kemudian berjalan dengan jutaan rayuan masa, melayang. Terbang hilir mudik bersama benak yang tak kunjung tenang dalam satu, dua, tiga masa yang berbeda.

***


Entah mengapa, seperti begitu banyak sayup-sayup rindu dari masa lalu yang angin bisikan di balik riuhnya ombak yang meronta menggoda kakiku, dingin. Mengajakku untuk menyapa indahnya bayangan masa depan dengan rayuan rindu lalu-lalu yang bahkan ku lupa rasanya seperti apa. Aku sama sekali tidak suka begini, seperti berhenti langkah di masa lalu dan lupa kalau waktu masih terus gerogoti masa. Tapi Tuhan layaknya mengajarkan satu hal lagi dengan memberikan waktu yang banyak untuk kemudian ku mengerti, ada masa yang berlalu – ada masa yang akan segera berlalu.